Kawin alam merupakan salah satu cara dalam pengembangbiakan ternak
sapi potong yang dianjurkan dengan pertimbangan: 1) secara alamiah
ternak sapi potong memiliki kebebasan hidup, sehingga mendukung
perkembangbiakannya secara normal, 2) secara alamiah ternak sapi jantan
mampu mengetahui ternak sapi betina yang berahi, 3) penanganan
perkawinan secara kawin alam memerlukan biaya yang sangat murah, tanpa
adanya campur tangan manusia, 4) metode kawin alam sangat efektif dan
efisien, sehingga dapat digunakan sebagai pola usaha budidaya ternak
mulai dari cara intensif, semi intensif dan ektensif, bahkan juga
dilakukan di beberapa perusahaan (Anonim).
sumber gambar dari sini |
Astuti et al. (1983) dan Keman (1986) menyatakan bahwa produktivitas ternak potong di Indonesia masih tergolong rendah dibanding dengan produktivitas dari ternak sapi di negara-negara yang telah maju dalam bidang peternakannya. Namun Vercoe dan Frisch (1980); Djanuar (1985); Keman (1986) menyatakan bahwa produktivitas sapi daging dapat ditingkatkan baik melalui modifikasi lingkungan atau mengubah mutu genetiknya dan dalam praktek adalah kombinasi antara kedua alternatif diatas (Nugroho, 2008).
Memperbaiki mutu genetik ternak melalui kawin silang antara induk lokal dengan pejantan unggul. Secara nasional, cara ini dapat direkomendasikan untuk membantu peternak dalam meningkatkan produksi dan produktivitas ternak. Pengembangan dan penyempurnaan stok bibit nasional juga dilanjutkan, antara lain dengan membangun institusi penangkar bibit ternak yang dihasilkan oleh lembaga penelitian (Mayulu, 2010).
Secara alami, seekor pejantan hanya mampu melayani 20-30 ekor betina, tetapi dengan teknologi IB kemampuannya meningkat ribuan kali. Teknologi IB dapat digunakan untuk membantu pelaksanaan program seleksi pada sapi potong, karena akan meningkatkan intensitas seleksi. Namun, hal ini akan diimbangi dengan meningkatnya interval generasi (L) karena diperlukan uji zuriat atau progeny testing yang memerlukan waktu cukup lama. Oleh karena itu diperlukan upaya lain agar rasio i/L maksimum sehingga respons seleksi (R) terus meningkat setiap tahun. Dalam jangka panjang, aplikasi IB juga dapat mempengaruhi keragaman sehingga respons seleksi mengalami pelandaian (plateau). Sementara itu, bila tidak didukung dengan pencatatan yang baik, peluang akan terjadi silang dalam (inbreeding) sangat besar (Diwyanto, 2008).